Home - warta - MASKAPAI HARUS MAMPU PENUHI ASAS RESIPROKAL

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengungkapkan, regulasi yang kuat bisa dijadikan modal bagi maskapai Indonesia mengimbangi asas resiprokal penerbangan asing dan Indonesia. Hal itu diungkapkan Menhub menanggapi belum mampunya maskapai nasional memenuhi asas resiprokal penerbangan dengan negara lain.

Menurut Menhub, selain ketersediaan armada, maskapai juga dituntut untuk menjaga dan memelihara kredibilitas di bidang keselamatan dan keamanan penerbangan. ”Supaya jadi key player di luar negeri,” ujar dia di Jakarta, Jum’at ( 24/4 ).

Ditegaskan, pemerintah sendiri telah memfasilitasi maskapai nasional agar dapat menjadi pemain kunci. Yaitu melalui akomodasi penerbangan langsung maskapai asing dari negaranya ke Indonesia, dengan harapan maskapai Indonesia juga bisa terbang langsung ke negara asing tersebut.



”Misalnya, kita mengizinkan Mahan Air (Iran) terbang langsung ke sini. Jadi, Garuda pun bisa terbang langsung ke sana. Demikian juga halnya dengan Australia,” papar Menhub Jusman. Untuk bisa memenuhi asas resiprokal dengan negara lain, imbuhnya, maskapai nasional harus kuat dengan memiliki armada yang cukup. UU 1/2009 tentang Penerbangan telah mengakomodasi kesulitan pendanaan untuk mengadakan pesawat dengan mengadopsi Cape Town Convention tentang jaminan kebendaan (hipotek).
Regulasi itu, kata dia, menjadi jaminan bagi perusahaan pemilik pesawat untuk menjadikan pesawatnya dimiliki sementara oleh maskapai Indonesia. ”Jadi, investor tidak akan takut lagi melepas pesawatnya untuk dimiliki sementara secara leasing oleh maskapai Indonesia. Itu telah dibuktikan oleh Bank Exim yang mendanai pesawat Lion Air. Jadi UU ini cukup untuk menampung agresifitas maskapai indonesia,” papar Menhub.
Sebelumnya, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Dephub Tri S Sunoko mengatakan bahwa maskapai nasional belum mampu memenuhi asas resiprokal yang termuat dalam perjanjian penerbangan antarnegara. ”Akibatnya, jumlah maskapai asing yang terbang ke Indonesia jauh lebih banyak ketimbang maskapai nasional yang terbang ke luar negeri,” ujarnya baru-baru ini.
Tri Sunoko menambahkan, dengan perjanjian itu, maskapai nasional memiliki hak yang sama dengan maskapai asing yang terbang ke Indonesia, baik dari kesamaan jenis pesawat, jumlah kursi, hingga frekuensi penerbangan. ”Kendati telah ada asas resiprokal, implementasinya memang tidak berimbang,” lanjutnya.
Hingga saat, ini Indonesia memiliki perjanjian bilateral penerbangan dengan 71 negara mitra dengan hak yang sama. Namun, realisasinya maskapai nasional yang ke luar negeri hanya sembilan dengan 25 kota tujuan di 11 negara dari sembilan kota di Indonesia. Padahal, jumlah maskapai asing yang terbang ke dan dari Indonesia sebanyak 38 yang berasal dari 21 negara atau 36 kota menuju 15 kota di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S Ervan mengatakan, terkendalanya pemenuhan asas resiprokal selama ini adalah karena maskapai nasional selalu terbentur masalah load factor yang pada umumnya rendah.
Di sisi lain, imbuh Bambang, kemampuan maskapai nasional sendiri masih belum setara dengan maskapai negara lain. Salah satunya adalah terkait armada pesawat dan semangat pelayanannya. ”Maskapai Indonesia banyak yang masih baru dan masih dalam tahap ’mencari-cari’. Padahal ketika perjanjian belum diteken, maskapai nasional selalu bilang mampu,” ungkapnya..

Sumber Dephub
Tags: warta